ads

Memanggil istri dengan sebutan umi atau bunda

SitusIslami.com - Menurut Ust. Teuku Wisnu dalam sebuah tayangan di serial acara “Berita Islam Masa Kini” memanggil istri dengan “umi” atau “bunda” adalah haram, karena termasuk dzihar. Ini yang perlu diluruskan, sebab statemen artis yang beralih profesi jadi ustadz tersebut tidak sesuai dengan pendapat para ulama fiqh. Dzihar merupakan sebuah ungkapan penyerupaan istri dengan ibunya sang suami.


sayang istri

Dalam beberapa literatur fiqh klasik dijelaskan bahwa dzihar merupakan tradisi kaum jahiliyyah yang digunakan untuk menjatuhkan talak. Kemudian oleh Rasulullah SAW tradisi tersebut dirubah dan perkataan dzihar bukan termasuk talak. Menurut ‘urf yang berlaku di kalangan orang arab, jika ada suami berkata dzihar, itu tandanya Ia bermaksud memposisikan istrinya layaknya ibunya. Maksudnya dalam hal keharaman untuk dinikahi, digauli dan lain sebagainya.

Hukum suami mengucapkan dzihar adalah haram dan berkewajiban membayar kafarat sebagaimana yang dijelaskan oleh para fuqaha’. Selanjutnya, para ulama menjelaskan bahwa dzihar yang sah disyaratkan harus menggunakan kata-kata yang mengisyaratkan kepada makna zhihar, yaitu makna penyerupaan istri dengan ibu kandung suami. Ini yang sangat tidak realistis diterapkan dalam dialektika bahasa Indonesia. Tak seorangpun suami yang memanggil istrinya dengan sebutan “umi” atau “Ibunda” bermaksud menyerupakan atau memposisikan istrinya seperti ibu kandungnya sendiri sebagaimana tradisi orang Arab. Sebutan “bunda” atau “umi” tak lebih dari sebuah panggilan kasih sayang atau cinta seorang suami kepada istrinya. Sedikitpun tidak ada maksud untuk mengucapkan dzihar. Bahkan orang Indonesia sendiri banyak yang tidak mengerti hakikat makna dzihar sebagaimana yang mentradisi di kalangan masyarakat Arab.

Dalam kaidah fiqh sendiri dinyatakan bahwa sebuah kalimat atau shighat bisa dianggap sah jika mengetahui dan memahami betul hakikat makna lafazh yang diungkapkan. Tidak sah dan tidak layak dikatakan dzihar orang Indonesia yang tidak mengetahui hakikat makna dzihar meskipun dengan shighat dzihar yang shorih sekalipun.

Al-Syaikh Izzuddin bin Abdissalam dalam Qawa’id al-Ahkam, juz. 2, hal. 102 mengatakan : فَصْلٌ فِيْمَنْ أَطْلَقَ لَفْظًا لَا يَعْرِفُ مَعْنَاهُ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمُقْتَضَاهُ إِذَا نَطَقَ الْأَعْجَمِيُّ بِكَلِمَةِ كُفْرٍ أَوْ أَيْمَانٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ إِعْتَاقٍ أَوْ بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ أَوْ صُلْحٍ أَوْ إِبْرَاءٍ لَمْ يُؤْخَذْ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْتَزِمْ مُقْتَضَاهُ وَلَمْ يَقْصِدْ إِلَيْهِ وَكَذَلِكَ إِذَا نَطَقَ الْعَرَبِيُّ بِمَا يَدُلُّ عَلَى هَذِهِ الْمَعَانِيْ بِلَفْظٍ أَعْجَمِيٍّ لَا يَعْرِفُ مَعْنَاهُ فَإِنَّهُ لَا يُؤَاخَذُ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْهُ فَإِنَّ الْإِرَادَةَ لَا تُتَوَجَّهُ إِلَّا إِلىَ مَعْلُوْمٍ أَوْ مَظْنُوْنٍ “Fasal, seseorang yang mengucapkan lafazh yang tidak mengetahui maknanya, maka tidak tertuntut dengan dampak hukum yang ditimbulkan atas perkataan tersebut. Apabila orang non Arab mengatakan kalimat kufur, sumpah, talak, memerdekakan budak, jual beli, akad shulh, atau ibra’ yang Ia tidak mengetahui hakikat maknanya, maka tidak tertuntut dengan konsekuensi perkataannya tersebut. Sebab tidak ada kesanggupan dan tujuan untuk melakukan beberapa perkara di atas. Begitu juga apabila orang Arab mengatakan dengan menggunakan shighat non Arab yang tidak Ia ketahui maknanya, maka tidak sah. Sebab sesungguhnya Ia tidak menghendakinya. Sesungguhnya sebuah tujuan tidak dapat diarahkan kecuali terhadap hal yang diketahui secara yakin atau minimal dugaan (dzann)”. Masa iya, panggilan sayang seorang suami kepada istrinya diharamkan ? Bukankah itu justru dianjurkan untuk lebih menunjang keharmonisan rumah tangga?...Kiranya pembaca sudah cukup arif untuk bisa menyimpulkan sendiri.
WaAllahu waliyyu al-Taufiq.


sumber : muslim-pilihan.blogspot.co.id

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :